Ngomongin PHP (Pemberi Harapan Palsu)

Wednesday, February 05, 2014

Sifat manusia memang macem-macem. Ada yang enak diajak kompromi, ada juga yang susah buat diajak akur. Begitu juga dengan orang-orang yang ada di sekitar kita, ada yang bisa diajak berteman atau bahkan dijadiin pasangan, nggak sedikit juga yang malah ngajak musuhan. Ada juga yang awalnya berteman dekat banget tapi mendadak malah jadi musuh bebuyutan, dan ada juga yang malah sebaliknya, awalnya nggak pernah ada akur-akurnya, eh tau-tau ujung-ujungnya malah jadi lengket kaya upil. Yap, sekali lagi semua itu memang nggak bisa kita tebak. Sama halnya seperti orang-orang yang memberi harapan kepada kita, kita nggak pernah dibekali kemampuan untuk bisa menebaknya secara pasti, apakah dia Pemberi Harapan Asli ataupun Pemberi Harapan Palsu (PHP). 

Gue nggak tau entah gue harus bangga atau malah harus sedih hidup di era yang serba canggih ini. Era di mana orang-orang memiliki kemampuan untuk memanipulasi apapun, mulai dari uang palsu, alamat palsu, bahkan hingga sesuatu yang bersinggungan dengan perasaan sekalipun, yaitu harapan palsu.

Gue yakin kalian pasti udah nggak asing lagi dengan istilah Pemberi Harapan Palsu a.k.a PHP. Atau mungkin, bisa jadi kalian sendiri malah sedang mengalaminya saat ini, baik sebagai korban ataupun sebagai pelakunya. Okeh, I know it's not a crime... tapi rasanya nggak salah kalo gue menggunakan istilah korban dan pelaku dalam hal ini kan? Karena bagaimanapun PHP itu mengandung unsur penipuan sebagaimana terkandung dalam pasal 378 KUHP :

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Dan berdasarkan pengalaman gue, menjadi korban  Pemberi Harapan Palsu itu lebih menyakitkan ketimbang sekedar menjadi korban alamat palsu.

Okeh... sesuai dengan tema, kali ini gue bakalan ngomongin yang namanya Pemberi Harapan Palsu. Biar nggak terkesan mengada-ada, sotoy atau apalah, jadi apa yang bakal gue tulis kali ini gue menggunakan pengalaman pribadi gue sendiri serta beberapa observasi dari pengalaman orang-orang di sekitar gue. Dan seperti yang gue bilang tadi, ada pelaku dan ada pula korbannya, dan gue pernah merasakan berada di dua posisi tersebut, pada waktu dan kesempatan yang berbeda tentunya. Well, buat ngebedain antara istilah pelaku dan korban, kita sebut pelaku sebagai orang yang melakukan tindak PHP, dan korban sebagai orang yang menerima PHP. Jelas kan?

Okeh, gue mulai ya ceritanya ...

Semua berawal saat gue masih duduk di bangku sekolah, gue kenal dengan seorang cewek. Di mata gue dia itu cantik, pintar dan memiliki selera humor yang tinggi. Hal inilah yang bikin gue tertarik dan pengen lewat depan kelasnya tiap hari demi untuk melihat dia... padahal kita beda sekolah :)

Gue kenal dia karena gue dikenalin sama temen gue yang kebetulan saat itu adalah pacarnya. Kita bisa akrab gara-gara kita sering nongkrong bareng setelah jam pulang sekolah. Akhirnya lama-lama kitapun jadi semakin deket, karena kebiasaan kita yang hampir selalu bersama-sama (gue sama dia, tapi dia sama pacarnya). Nggak jarang juga dia sering curhat ke gue kalo dia lagi ada masalah sama pacarnya. Hingga pada suatu hari, seperti yang selalu gue harapkan, akhirnya mereka berduapun putus. Ternyata dari per-putusan mereka nggak lantas memutuskan komunikasi kita juga, bahkan komunikasi kita malah jadi lebih sering dari sebelum mereka putus. Kita jadi lebih sering bercanda, berbagi cerita tentang apapun baik mulai dari hal yang penting ataupun yang sama sekali nggak penting, dan nggak jarang juga dia ngebangunin gue pagi-pagi, mengingatkan waktu makan, mandi, bahkan sampe waktu buang air besarpun kita sering saling mengingatkan. Hampir setiap nada panggil ataupun sms yang masuk ke hape gue selalu tertera display name dia. Rasanya nggak pernah bosan kuping ini untuk selalu mendengar curahan hati dia meskipun setiap malam, malah gue merasa ada yang kurang kalo sehari saja dia nggak curhat sebelum dia tidur. Hingga akhirnya sampai pada suatu titik, sisi sensitif gue menangkap sinyal-sinyal yang dia tebar, dan menterjemahkannya menjadi sebuah perasaan yang lebih gue kenal dengan sebutan Cinta. Iya, gue mulai suka sama dia, dia juga udah mulai suka sama gue. Iya, kayaknya sih gitu. *ngarep*

Hampir setiap gue bersama dia gue selalu bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah dia memposisikan gue sama seperti gue memposisikan dia di dalam hati gue? Gue masih belum punya nyali untuk mengungkapkan apa yang gue rasakan. Hingga menahun lamanya gue membuang-buang waktu untuk memendam perasaan itu. Semakin hari semakin banyak pula yang gue harapin dari dia. Semakin terlalu percaya diri sekaligus semakin salah paham gue mengartikan perhatian-perhatian yang dia berikan. Satu hal yang paling gue sesali ketika itu, entah mengapa semakin gue pengen mengungkapkan perasaan yang gue rasa, justru malah semakin pengen gue menunda-nunda untuk bikin dia tau apa yang sebenarnya gue rasakan. Dan dengan tololnya juga gue sempat berharap suatu saat nanti dia bakal tau perasaaan gue dengan sendirinya. Dan begonya lagi, gue sendiri nggak tau pasti mau sampe kapan gue akan menunda-nunda semua itu.

Hingga tibalah saatnya gue merasa kalo dinding-dinding yang ada di dalam rongga hati gue udah mau jebol karena udah nggak kuat lagi buat menahan apa yang gue pendam selama itu. Gue pikir inilah saatnya gue harus menayakan hak gue sama dia. Yap, bukankah setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai, iya kan? Gue juga berhak bertanya di posisi mana sebenarnya gue diletakan di dalam hatinya?

Dengan segenap keberanian yang gue miliki, akhirnya gue nekat buat ungkapin semua yang gue rasa, dari pertama rasa itu muncul sampe detik terakhir gue merasakannya. Pada suatu malam di tengah-tengah perbincangan kita lewat telepon :

"Gue boleh ngomong sesuatu nggak sama kamu?"
"Bukannya dari tadi kamu lagi ngomong sama aku ya?"
"Hehe... iya juga sih. Tapi ini lain, kamu mesti janji dulu, kamu nggak boleh marah..."
"Iya... Emang selama ini aku pernah marah sama kamu ya?"
"Hehe... Nggak pernah sih..."
"Ya udah tinggal diomongin aja... susah amat..."
"Oke... Tapi kamu mesti janji ya setelah nanti apa yang gue mau omongin ke kamu, gue harap kamu nggak marah dan kita nggak berubah setelahnya..."
"Iya deh... Tenang aja aku janji..."
"Entah ini sebuah kesalahan atau bukan, tapi sebelumnya gue mau minta maaf dulu ya..."
"Iya aku maafin..."

Gue menghela nafas sejenak, mengais segenap keberanian yang gue punya.

"Sebenernya gue sayang sama kamu sejak kamu pacaran sama temen gue, bahkan gue masih sayang sama kamu sampai detik ini. Udah lama gue pengen ngomongin ini semua ke kamu, tapi baru kali ini gue punya keberanian... Gue pengen jadi pacar kamu..."
"Ehm... Gimana yah? Tapi sorry banget met, selama ini aku tuh menganggap kamu cuma sebatas temen... Nggak bisa lebih..."

Akhirnya pembicaraan malam itu diakhiri dengan kata maaf yang gue ucapkan berkali-kali ke dia. Setelah kita menutup telepon kita, entah mengapa mendadak gue merasa seperti orang yang paling malang sedunia. Entah mengapa juga setelah malam itu berlalu, semuanya terasa menjadi berubah, hape gue mendadak menjadi sepi, nggak pernah lagi terdengar nada panggil ataupun bunyi pesan masuk dari dia. Nggak ada lagi orang yang setiap hari rajin bangunin gue, ngingetin gue waktu makan, curhat ke gue sebelum tidur. Gue merasa cukup lega sekaligus bersalah, meskipun gue sendiri masih nggak tau secara pasti di mana letak kesalahan gue.

Gue sempet berpikir bahwa kedekatan gue sama dia selama ini cuma halusinasi gue aja. Atau jangan-jangan selama ini gue cuma dibodohi oleh kenyataan. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, semua memang gue yang bodoh.

Dalam cerita yang lain, gue juga pernah terlibat dalam kasus Pemberi Harapan Palsu, di mana kali ini gue sendiri yang menjadi pelakunya. Dimulai dari kebiasaan gue yang berusaha buat mengakrabi semua teman, baik kepada sesama cowok ataupun sama cewek ternyata membawa gue untuk menjadi seorang Pemberi Harapan Palsu. Tak terkecuali kepada seseorang cewek teman sekelas gue. Dari pertama mindset gue sama dia ya cuma berteman, nggak lebih. Gue nggak pernah membeda-bedakan teman cowok ataupun cewek, gue juga nggak pernah menspesialkan teman cewek apalagi teman cowok. Semua gue anggap sama. Tetapi ternyata tidak untuk seorang teman cewek tadi, dia salah menterjemahkan semua perhatian gue. Padahal niat gue itu baik, gue tulus sama semua teman termasuk dia, gue nggak berharap balik dia bakal memperlakukan gue seperti yang gue lakukan ke dia. Hingga pada suatu hari sebuah pesan masuk ke inbox gue : 


"KAMU NYADAR GA SIH KALO SELAMA INI AKU ITU SUKA SAMA KAMU?".

Gue cuma bisa bengong + bingung. Gue nggak tau harus bagaimana. Gue nggak mau maksain kata hati gue, tapi gue juga nggak mau menghancurkan harapan dia ke gue. Gue nggak tau kalimat apa yang harus gue pake untuk membalas pesan masuk tadi tanpa sedikitpun melukai perasaan dia.

Jujur, gue sama sekali nggak pernah bermaksud buat maenin perasaan dia. Mungkin sama seperti pengalaman gue yang di atas tadi, memang semua gue yang salah. Bisa jadi karena gue terlalu baik, karena gue nggak tau kalo ternyata terlalu baik sama orang itu bisa juga berakibat nggak baik, atau mungkin bisa juga memang dia yang salah, terlalu percaya diri menterjemahkan perhatian-perhatian yang gue beri. Gue tau banget gimana rasanya berada di posisi dia. Posisi di mana ketika kita terlalu percaya diri pada sebuah harapan yang kita miliki, meyakini seseorang bahwa dia akan menangkap dan menerima hati kita dengan baik ketika kita menjatuhkan hati kita kepadanya, namun sayang, pada kenyataanya ketika telah benar-benar menjatuhkan hati kita, ternyata dia justru malah nggak menangkapnya. Sehingga hati kita yang kita jatuhkan tadi benar-benar jatuh hingga patah dan pecah berkeping-keping. Ya gue tau banget rasanya, karena sekali lagi, gue pernah berada di posisi yang sama.

Yang pasti sejak peristiwa itu, gue dan dia seperti orang yang nggak pernah saling mengenal sebelumnya. Semua keakraban yang udah terjalin selama ini mendadak berubah begitu aja tanpa kompromi menjadi sebuah ke-awkward-an.

Begitulah... akhirnya dari situ gue mengerti bahwa ternyata ada dua hal yang paling tidak mengenakan dalam hidup ini, yaitu : (1) Tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, dan (2) mendapatkan apa yang tidak kita inginkan.

Dari dua pengalaman gue di atas tadi, akhirnya gue dapat menyimpulkan bahwa : Cowok sama cewek itu diciptakan bukan untuk berteman baik, kalo mereka nggak jadi pasangan, berarti mereka nggak akan jadi apa-apa. Intinya, di balik kedekatan cowok sama cewek pasti selalu ada sesuatu di dalamnya, susah untuk benar-benar menanamkan seonggok ketulusan di dalamnya tanpa mengharapkan sesuatu. Tergantung sadar atau nggak'nya si pelaku PHP tersebut.

Jadi kesimpulan dari tulisan gue yang panjang lebar di atas adalah : "Pemberi Harapan Palsu itu nggak salah, kita juga harus tau diri, bahwa nggak selamanya perhatian itu selalu diberikan kepada orang-orang yang disayangi atau orang yang diharapkan bisa menjadi pasangan. Jangan pernah merasa kalo selama di-PHP-in itu lo cuma dibodohi kenyataan, bukankah kita sendiri yang udah terlalu cepat menyimpulkan semua perhatian dan terlalu percaya diri menterjemahkan semua apa yang kita terima?

PHP memang susah buat di jauhi ataupun buat dihindari, karena bisa jadi PHP itu terjadi diluar kesadaran pelakunya, bisa jadi juga PHP udah merupakan hobi pelakunya. Yang pasti, kita baru akan sadar bahwa kita telah menjadi korban PHP setelah kita membuang banyak waktu sia-sia bersama dia. Sebelum lo bener-bener jadi korban PHP, pesen gue sih cuma satu : Berilah hati kamu kepada seseorang yang kamu harapkan bisa mencintaimu seperti kamu mencintai dia dengan setengah hati, cukup setengah hati aja, karena yang setengahnya lagi akan kita pake untuk kemungkinan terburuk, yaitu di-PHP-in.


 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Instagram

Subscribe